Walaupun dianggap program TV paling netral, siaran informasi hakekatnya punya akibat negatif yang tak ringan. Terlebih informasi kriminalitas yang seolah menjadi menu utama siaran informasi TV.
Pernahkah Anda memeriksa apa yang terasa dalam hati ketika mendengar informasi seorang anak muda merampok sebab kesulitan mencari kerja atau informasi seorang kakek memerkosa anak tetangganya? Seorang muslim tentu merasa jijik mendengarnya.
“Tapi kalau itu memang kenyataannya, bagaimana?” kata mereka.
Setiap ketika ada yang lahir dan ada yang mati. Dan tidaklah bijak kalau kita cuma konsentrasi pada informasi buruk ketimbang informasi baik. Apalagi informasi kriminalitas yang jumlahnya sama sekali tak signifikan untuk menggambarkan keadaan umum masyarakat.
Kalau tak percaya mari coba hitung bersamaku. Di Indonesia saja ada sekitar 250 juta orang. Andai kata tiap-tiap tahunnya ada 0,001% saja penjahat yang melakukan pencurian. Maka kita akan punya 2500 kasus tiap-tiap tahunnya atau sekitar 5 kasus tiap-tiap harinya. (Kita belum menghitung kalau-kalau mereka melakukannya lebih dari sekali)
Dari perhitungan diatas seharusnya kita sadar bahwa KEJAHATAN AKAN SELALU ADA. Dengan pahit seharusnya kita katakan, di suatu daerah di belahan dunia ini ada orang-orang yang sedang tidur pulas ketika mobilnya dicuri, ada orang-orang yang sedang menangis gemetaran sebab baru saja dirampok, dan ada sedang yang menjerit tak mengira teman lamanya tega melakukannya.
Jadi, kita tak perlu menunggu sampai kriminalitas benar-benar habis untuk berhenti menyiarkan dan memperdengarkan informasi-informasi buruk itu. Bukannya kita bermaksud untuk pura-pura tak tahu. Cuma saja, kalau negara ini dan pers memang tak peduli dengan sopan santun bangsa atau setidaknya tak cukup pintar untuk mencegah informasi kriminalitas ini menyebar, setidaknya jangan sampai kita turut menonton atau membacanya. Setidaknya itulah yang bisa kita lakukan sampai pers kita menjadi lebih cerdas memilah ribuan informasi yang masuk dan memilih informasi-informasi yang paling cocok disebarkan.
Dan andaipun suatu ketika masyarakat telah memburuk sehingga informasi-informasi itu tak cuma ada namun memang menggambarkan keadaan, karenanya konsisten saja …
BERITA KRIMINAL INI SAMA SEKALI TIDAK MEMBANTU PENCEGAHAN
Mulanya orang-orang mungkin akan berkata bahwa kita perlu tahu agar lebih waspada. Kita betul-betul yakin kalau kita mengenal keadaan di sekitar kita mulai tak aman, kita akan lebih waspada dan hati-hati kepada seluruh kemungkinan kriminalitas. Walaupun?
Justru keadaannya malah bertambah parah. Katakanlah ada seratus orang kakek yang kelaparan di bumi Indonesia kita tercinta ini. Walaupun lapar sekali, tak satu malah dari kakek-kakek ini tergoda untuk mencuri sampai suatu ketika mereka seluruh nonton informasi di TV perihal seorang kakek yang mencuri sebab kelaparan. Tiba-tiba saja mereka merasa punya teman. Mereka malah merasa, “Saya tak sendiri di dunia ini.” Pikiran ini akan menjalar pada pikiran selanjutnya, “Kalau seorang kakek di luar sana sampai mencuri sebab mengalami apa yang juga kualami ini, karenanya pasti keadaanku ini telah cukup parah. Orang-orang tak bisa menyalahkanku kalau saya mencuri sebab saya juga kelaparan sama sepertinya. Saya punya perut yang seharusnya diisi dan tagihan yang seharusnya dibayar, saya terpaksa.” Atau simpelnya ia menarik kesimpulan, “merupakan wajar bagi orang yang berada di posisiku ini untuk berperilaku semacam itu.” Maka minggu selanjutnya, muncul 100 informasi kakek-kakek mencuri sebab lapar.
Efek seperti itu disebut efek konsensus. Konsensus merupakan satu dari lima yang mempengaruhi perbuatan seseorang. Dikala seseorang sbobet merasa tak sendiri, ia cenderung lebih gampang untuk melakukan sesuatu. Efek konsensus ini yang membikin siswa yang ketakutan separuh mati sebab tak melakukan PR menjadi lebih hening ketika mengatahui teman-temannya juga belum melakukannya. Walaupun waktu mengumpulkan tugas telah hampir tiba, mereka tak merasa deg-degan lagi. Pun mereka tak malu lagi ketika di-strap di depan kelas (sebab ramainya jumlah mereka).
Efek konsensus ini malah belum ada apa-apanya kalau dibandingi dengan efek buruk panduan kriminalitas yang umum diberikan Berita Investigasi. Berita kriminalitas di TV acap kali kali melakukan rekonstruksi ulang kejadian atau wawancara langsung dengan si pelaku perihal caranya melakukan kriminalitas itu. Ini jauh lebih buruk lagi. Sama buruknya dengan pengajaran kriminalitas yang terjadi antarsesama narapidana di penjara.
Kongkritnya coba lihat lagi informasi di TV. Bukankah sekarang ini jauh lebih acap kali terdengar kasus perihal seorang ibu yang membuang anaknya? Coba pikir lagi, kira-kira kenapa para ibu ini tak lagi punya perasaan? Kira-kira kenapa mereka tak lagi malu pada diri mereka sendiri untuk melakukan perbuatan keji itu? Bukankah itu sebab mereka tahu bahwa tak cuma mereka yang pernah melakukannya. Sudah banyak kejadian seperti itu terjadi di TV. Sudah umum.
Jadi kupikir sekarang kalian telah paham bahwa kriminalitas seperti itu tak perlu disiarkan. Bukannya kita bermaksud untuk pura-pura tak tahu. Kalau negara ini memang tak peduli dengan sopan santun bangsa atau setidaknya tak cukup pintar untuk mencegah informasi kriminalitas seperti ini menyebar, setidaknya jangan sampai kita turut menonton atau membacanya. Biarlah akibat negatif penyiaran informasi kriminalitas itu cuma berputar dari kedai kopi ke lapak tuak dari lapak tuak ke kedai kopi. Sebab cuma dengan inilah, institusi pers kita yang hari ini telah menjadi media yang pragmatis berharap merubah haluan informasi-informasi mereka